Menurut
sejarahnya, seni badud selalu dimanfaatkan untuk hal-hal yang bersifat ritual.
Umpamanya, setiap ada gotong royong seni ini dimanfaatkan sebagai alat komukasi
antar penduduk untuk berkumpul dan membicarakan gotong royong yang akan
dilaksanakan bersama.
Kabid
Kebudayaan Dinas Pariwisata, Kebudayaan dan Olah Raga, Dr. Erik mengemukakan,
seni badud dulu selalu digunakan untuk acara ritual panen padi, tapi sekarang
bisa diundang untuk acara hajatan.Mengenai alat-alat seninya, Erik menjelaskan,
berupa 8 angkung, 6 dogdog beserta alat alat musik yang terbuat dari logam.
Seperti kempul, kecrek dan genta/go'ong.
Awal
mulanya, kata Erik, alat komunikasi untuk mengumpulkan masyarakat dalam acara
gotong royong dilakukan menggunakan suara mulut "dog-dog eu", tapi
sekarang sebagaimana sesepuh seni badud Ki Ardasim dan Ki Ijot, mulai
memikirkan untuk mengubah pola komunikasi ini dengan membuat alat kesenian
dengan menggunakan bambu yang dipukul seperti kentongan dengan berirama,
sehingga masyarakat mulai mengenal seni itu sebagai alat komunikasi untuk
mengumpulkan warga masyarakat.
Perkembangan
selanjutnya, menurut Erik, kesenian badud lebih dikembangkan lagi dengan vokal
atau nyanyian dalam bentuk sisindiran. Namun, untuk acara ritual panen seni
Badud itu tetap digunakan sebagai tanda rasa syukur masyarakat terhadap hasil
panen yang melimpah.
Acara
itu dimulai dari sawah untuk mengiringi hasil panen yang digotong oleh para
petani menuju kampung dan disimpan di leuit warga. Sementara itu, kaum wanita
menumbuk padi di lesung, sehingga berirama, dan munculah istilah gondang.
Sebelum
hasil panen itu dimasukkan ke lumbung/ leuit, pemimpin upacara mengadakan
ritual juga dengan "Kidung Pasisinglar Nyi Pohaci" dengan tujuan
terhindar dari berbagai gangguan, seperti hama tatanen